hits
Langganan

Jodoh

by Tiqom Tarra  - Espos.id Entertainment  -  Sabtu, 28 September 2024 - 08:00 WIB

ESPOS.ID - Ilustrasi Cerpen Jodoh (Solopos/Istimewa)

Satu kata tentang ayahku: kolot. Bagaimana bisa beliau secara sepihak menjodohkanku, putri semata wayangnya, dengan seorang sepupu? Ini sudah bukan zamannya Siti Nurbaya.

“Memangnya kenapa? Tidak ada yang salah dengan perjodohan ini,” ucap Mas Adi, sepupu yang dijodohkan denganku, tiap kali aku menentang perjodohan dengannya.

Advertisement

Tentu saja masalah! Beda usia kami lebih dari sepuluh tahun. Tepatnya tiga belas tahun empat bulan. Bayangkan, Mas Adi sudah menginjak usia remaja ketika aku baru lahir. Dan juga bayangkan misalnya kami menikah, dia sudah menjadi om-om sedangkan aku baru menginjak usia matang. Astaga, apa kata dunia? Aku benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan ayah menjodohkanku dengan sepupuku itu.

“Banyak kok yang beda usianya lebih jauh dari kita. Lagipula kita sudah saling kenal sejak kecil, bahkan sejak kau masih orok. Aku bahkan pernah memandikanmu ketika kau masih kecil.”

Kalimat terakhir sukses membuat wajahku terbakar saking malu. Baiklah, aku akui kami memang dekat sejak kecil karena aku selalu dititipkan di rumahnya.

Aku tidak punya ibu sejak lahir karena ibuku meninggal sesaat setelah melahirkanku. Dan solusi terbaik untukku — yang mempunyai ayah yang sibuk bekerja adalah menitipkanku pada keluarga Mas Adi.

Maka sejak kecil aku sudah seperti adiknya sendiri, lalu gagasan tentang perjodohan konyol ini disambut baik oleh segenap keluarga. Mas Adi dengan senang hati menyetujuinya sedangkan aku nyaris pingsan.

Aku mengetahui perjodohan ini ketika usia lima belas. Tepatnya ketika aku baru duduk di bangku sekolah menengah atas. Rasanya seperti ada bola bekel yang menyangkut di tenggorokanku ketika ayah menyampaikan hal itu. Kau hanya akan menikah dengan Mas Adi, begitu kata Ayah.

Usiaku baru lima belas. Duniaku masih panjang dan gagasan tentang perjodohan dengan sepupu sendiri yang sudah seperti kakak kandung adalah kekonyolan terbesar.

Advertisement

Aku menolak mentah-mentah gagasan yang telah diamini oleh Mas Adi dan segenap keluarga. Kalau diibaratkan sebagai bunga, aku ini baru mekar dan banyak kumbang yang ingin mendekat. Aku seperti halnya teman-temanku yang lain, tentu ingin merasakan jatuh cinta, pacaran dengan seorang yang membuat jantungku berdebar-debar. Itu hal wajar. Yang tidak wajar adalah menikah dengan om-om.

“Kita tidak akan menikah hari ini atau besok. Aku juga tidak mau menikah dengan anak di bawah umur.”

Ucapan Mas Adi benar-benar menohok, tapi lagi-lagi aku akui itu benar. Maka yang bisa aku lakukan hanya tertunduk malu dan memikirkan bagaimana cara agar aku terbebas dari perjodohan ini.

“Kalau kau ingin pacaran, silakan. Kalau kau ingin menikmati usia remajamu, silakan. Tapi, jika waktunya sudah tiba, kita akan menikah.”

“Itu artinya kau sudah mengikatku dengan rantai, memberi kebebasan palsu.”

Tidakkah mereka berpikir bahwa itu menyakitkan? Perjodohan, entah untuk alasan yang baik ataupun dengan seseorang yang terbaik tetaplah sesuatu yang mengikat kebebasan.

Aku tahu Mas Adi mungkin terbaik untukku, dia punya segalanya sebagai seorang suami. Aku akui dia tampan — banyak teman yang minta dikenalkan dengannya. Dia juga punya pekerjaan yang mapan. Tampan dan mapan adalah kombinasi sempurna dari seorang laki-laki. Namun, bukankah hidup juga butuh cinta? Dan aku tidak memilikinya untuk sepupuku itu.

Advertisement

“Begini saja,” katanya. “Jika sampai di usiamu yang kedua puluh lima aku belum berhasil membuatmu jatuh cinta padaku, kau boleh menikah dengan laki-laki pilihanmu.”

Sejujurnya aku tidak paham mengapa Mas Adi setuju dijodohkan denganku — terlepas dari kami dekat sejak kecil. Aku yakin dengan wajah dan kemapanannya itu dia bisa mendapat wanita yang jauh lebih baik dariku, setidaknya seorang wanita matang, bukan bocah ingusan sepertiku. Atau mungkin dia memang sudah mencintaiku sejak kecil?

Ah, mana ada yang seperti itu. Maka sejak itu aku bebaskan diriku untuk menikmati masa remaja: mengenal lebih banyak orang, jatuh cinta, dan pacaran layaknya remaja pada umumnya.

Ayah tentu saja kebakaran jenggot mengetahui aku pacaran dengan orang lain. Tapi, aku bilang padanya bahwa aku sudah mendapat izin dari Mas Adi.

“Mas Adi yang bilang aku boleh menikmati masa remajaku, termasuk pacaran.”

Ayah tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika Mas Adi membenarkan ucapanku. Malam itu, entah setelahnya mereka membicarakan apa, aku disuruh masuk kamar dan tidak boleh keluar sampai besok pagi. Mungkin Mas Adi sedang bernegosisasi tentang hidupku. Malang nian nasibku.

Aku hitung setidaknya aku pacaran sampai dua puluh kali ketika SMA dan tidak ada yang berjalan mulus. Para pemuda itu cepat bosan dan hobi sekali selingkuh dengan temanku sendiri. Dan setiap kali ini terjadi, Mas Adi hanya menertawakanku.

Advertisement

“Pacaran itu hanya untuk orang-orang yang bernyali besar, bukan untuk anak cengeng sepertimu.” Puas dia menertawakanku.

Aku tidak peduli. Lulus SMA aku kuliah di luar kota yang membuat ayah uring-uringan dan menyuruh Mas Adi mengawasiku. Sepupuku itu tentu saja dengan senang hati mengikutiku. Katanya demi menjagaku, calon istrinya. Lagi-lagi aku tidak peduli.

Ketika kuliah pun aku menjadi hubungan dengan beberapa laki-laki, meski tidak pernah bertahan lama. Agaknya laki-laki memang jenis manusia yang cepat bosan.

Namun, saat semester akhir kuliahku, aku menjalin seorang laki-laki dari pulau seberang. Dia baik, humoris, anak band, tampan — tak kalah dengan Mas Adi. Dan yang terpenting dia seumuran denganku. Hingga lulus kuliah dan bekerja, aku masih menjalin hubungan dengannya.

Aku yakin dia adalah jodohku. Apalagi sebentar lagi usiaku dua puluh lima tahun. Aku sudah membayangkan menikah dengannya. Kami akan tinggal di rumah keluargaku yang sepi dan kami akan punya anak satu atau dua.

Lalu yang terpenting dari semuanya adalah bahwa aku tidak harus menikah dengan Mas Adi. Bukankah dia sudah janji untuk melepasku jika dia tidak bisa membuatku jatuh cinta sampai usia dua puluh lima?

Memang ada kalanya kita memimpikan sesuatu dan menurut kita itu sangat mudah diwujudkan. Namun, agaknya takdir juga suka sekali membuat hancur hati seseorang. Aku nyaris gila ketika pacarku bilang harus pulang kampung untuk menikah dengan seorang sepupu.

Advertisement

“Kami sudah dijodohkan,” katanya.

Aku berkeras hati, kukatakan padanya bahwa aku juga sudah dijodohkan, tapi sekarang aku hanya untuk dirinya. Aku juga menawarkan agar kami kawin lari saja dan kabur ke pulau lain. Tapi, pacarku menolak. Dia masih sayang pada kebuh cengkih dan pala daripada harus dicoret dari daftar keluarga karena memilih menikah denganku.

Sejak itu aku hanya mengurung diri di kamar. Bayangan tentang pernikahan dan rumah tangga dengan pacarku hancur sudah. Kebun cengkih lebih berharga dibanding aku yang mencintainya sepenuh hati.

Mas Adi yang biasanya menertawakanku habis-habisan kali ini hanya diam. Mungkin dia sudah lelah menertawakanku atau aku terlalu menyedihkan untuk ditertawakan.

Dia hanya sekali menjengukku, memastikan aku tetap makan meski sedikit. Kadang aku berharap dia menemaniku lebih lama agar aku tahu aku tidak sendirian. Di saat seperti ini siapa pun pasti butuh seseorang untuk tempat bersandar.

“Aku selalu di sini, tidak pergi ke mana-mana,” katanya ketika aku bilang dia mulai mengabaikanku padahal ayah mempercayakanku padanya. “Justru kau terus-menerus lari entah ke mana.”

“Kapan aku lari? Aku hanya menikmati hidupku seperti yang dia katakan ketika usiaku lima belas tahun.”

Advertisement

“Aku tidak akan pernah bisa membuatmu jatuh cinta jika kau terus menutup hati.”

Kadang aku juga berpikir kenapa aku tidak berusaha menerima Mas Adi saja dan justru sibuk mencari seorang kekasih yang aku harapkan menjadi jodohku. Mas Adi telah begitu setia di sisiku entah untuk alasan apa pun; entah sebagai kakak, calon suami, sepupu, atau jodoh yang telah Tuhan siapkan untukku.

Dia bersedia menungguku bahkan melihatku jatuh cinta dengan laki-laki lain berulang kali. Mendadak aku berpikir apakah di balik tawanya ketika menertawakanku yang ditinggal pacar juga terdapat kecemburuan, amarah, dan kesedihan? Yang pasti, lagi-lagi dia selalu ada di sisiku setiap kali itu terjadi dan seharusnya itu sudah cukup bagiku untuk jatuh cinta.

“Hanya saja aneh bagiku menganggapmu yang sudah seperti kakakku sendiri sebagai calon suami.”

Mas Adi hanya tersenyum kemudian tertawa mendengarku. Dan dari tawanya itu aku tahu bahwa dia akan tetap di sisiku. Aku menyadari bahwa aku terlalu angkuh selama ini, menganggap berbedaan usia kami sebagai sesuatu yang tabu. Padahal Tuhan telah menunjukkan dengan amat jelas siapa jodohku ketika Mas Adi tertawa, tersenyum, dan bicara padaku.

“Apa ini yang namanya jodoh?”

Sekali lagi Mas Adi tertawa sebelum mengangguk kemudian memelukku. Ah, sepertinya dia berhasil mencuri hatiku.

Advertisement

(Tiqom Tarra, lahir dan besar di Pekalongan. Kini tinggal di Jembrana, Bali. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di berbagai media baik daring maupun cetak. Telah menerbitkan kumpulan cerpen “Anak Kecil yang Memamerkan Bayinya dan Orang Dewasa yang Menyimpan Biji Mentimun di Saku Celana” (2018)).

Advertisement
Ayu Prawitasari - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Kata Kunci : Cerpen Jodoh Pernikahan
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif