Siang itu tak seperti biasa, tarian kuda lumping tak lagi dimainkan segerombolan lelaki dewasa dengan tampang sangar. Kebalikannya, mengenakan busanan yang memesona, puluhan ibu-ibu muda tampil nan gagah dibubuhi sentuhan kelembutan tari yang tak mungkin dipisahkan. Para srikandi berkuda itu tak kalah dengan penari kuda lumping yang umumnya lelaki. Gerakan mereka pelan namun pasti.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Barangkali tak sekadar keindahan dalam seni tari yang ingin mereka sampaikan. Lewat gerakan tari yang ritmis nan dinamis itu, kavaleri putri asal perbatasan Yogyakarta ini seolah ingin menunjukan semangat heroisme para prajurit Mataram kala itu. Tak jarang, mereka sesekali melemparkan senyum centil kepada para penonton agar suasana sedikit cair.
Tak melibatkan penari pria, mereka hanya menggunakan dua fragmen pentas, Senterewe dan Begon Putri. Padahal total fragmen dalam tarian kuda lumping normalnya berjumlah tiga. Fragmen pertama bernama Buto Lawas yang harus dimainkan para pria. Sementara, Senterewe dan Begog Putri lebih banyak mengekspos kelembutan dan seni keprajuritan yang lebih condong pada pertunjukan bagi kaum hawa.
Acara dalam Parade Jatilan, Festival Seni Pertunjukan Tradisional Indonesia 2012 di Pendapa Taman Budaya Surakarta (TBS), Minggu (25/11/2012) lalu memang memukau. Berbeda dengan pentas-pentas kuda lumping lainnya yang lebih banyak dimainkan para pria. Semangat dan misi peningkatan gender juga sempat mencuat di atas panggung. “Perempuan juga punya kesempatan yang sama untuk berkesenian. Sama halnya laki-laki, kami punya semangat dan karya,” ucap Martini, 35, salah satu penari saat berbincang dengan Esposin.
Tak mudah bagi Martini dan puluhan rekan lainnya mengembangkan tarian kuda yang juga sering disebut Jatilan ini di tengah-tengah kaum hawa di daerahnya, Wonosari, Yogyakarta. Selain dianggap sebagai tarian sangar dan garang khas pria, Kuda Lumping dianggap tak laku dijual. “Kalau untuk tanggapan [dipentaskan] kurang diminati, sepi. Karena harus banyak orang yang harus dibawa sekali pentas,” tambah ibu tiga anak ini.
Namun tekad yang begitu kuat dan kecintaan kepada kesenian yang sangat tinggi membuat ibu-ibu muda ini tak begitu memperdulikan orientasi materi. Kepuasan mereka saat mementaskan kesenian tradisional di atas panggung merupakan kebanggan yang tak ternilai. Sekaligus sebagai pembuktian kalau kaum hawa juga turut berkontribusi dalam pengembangan kesenian jaranan ini. “Sebenarnya juga ada sejarahnya kepada tarian kuda lumping ini ditarikan oleh wanita. Sejarah tentang dua puteri kerajaan di daerah Jogja kala itu. Jadi bukan sekadar tarian perempuan begitu,” tambah kepala Sanggar Turonggo Putri, Hartono.