Perdebatan itu mengalir di markas pengobar revolusi yang mendadak gaduh dengan kedatangan Ponco. Malam itu, pemuda bertopi ini gagal mengebom kediaman residen yang sedang riuh dengan pertunjukan stambul.
Promosi Berkat Pemberdayaan BRI, UMKM Ini Optimalkan Produk Bambu hingga Mancanegara
Rekan sesama pejuang Ponco di antaranya Darmo, Sutris, dan Fitri, bertanya-tanya mengapa eksekutornya menggagalkan rencana yang telah disusun dengan rapi. Di saat Ponco tertunduk meratapi kegagalannya, Wali yang datang paling belakangan langsung melempar amarah ke arah temannya.
Wali yang turut mengamati aksi Ponco malam itu kecewa dengan sikap temannya yang memilih membatalkan niatan menebar teror tersebut. “Hati seorang penyair mana cukup tegas melakukan aksi seperti itu,” teriak Wali pada teman-temannya. Kalimat itu adalah sindiran bagi Ponco.
Ponco yang diliputi kegamangan tersulut dengan omongan sinis Wali. “Apakah revolusi mengizinkan mengorbankan anak-anak yang tak jelas dosanya? Kau tak bisa menggunakan apologi revolusi untuk pembunuhan, apalagi anak-anak,” tandasnya, membela diri.
Masih dengan nada menyesal, Ponco perlahan membeberkan alasan pembatalan aksi pengeboman yang dipercayakan kepadanya. Sesaat sebelum menyalakan dinamit yang telah ia genggam, dirinya melihat dua anak kecil bermata bening yang melintas tepat di depannya. Detik itu juga dirinya yakin revolusi tak boleh mencederai hak asasi manusia.
Wali yang sudah kadung marah dengan kelakuan para penjajah tak mau begitu saja menerima alasan yang dikemukakan Ponco. “Jangan kau berpikir satu dua tetes darah yang tumpah. Revolusi memang tidak murah. Ini revolusi bung!” katanya lagi.
Kisah terus bergulir dengan penyusunan aksi pengeboman kedua. Ponco yang sebelumnya gagal, kian bersemangat menunaikan aksi revolusinya. Sayang aksi keduanya kali ini gagal lagi dan menyeretnya ke tiang eksekusi. Ponco mati dalam satu tarikan pelatuk. Kematiannya menjadi virus pengobar revolusi lainnya. Giliran Fitri yang menyalakan sumbu dinamit. Bum! Suara ledakan yang menggelegar menuntaskan pertunjukan malam hari itu.
Pentas kolaboratif selama 1,5 jam yang dibawakan Teater Tera dan Teater Akar ini berbeda dengan pertunjukan teater modern biasanya. Sutradara Gigok Anurogo sengaja menghadirkan idiom teater tradisional seperti musik, setting, lighting, dan penggarapan alur dramatik. “Dalam setiap sub babak, sengaja saya buat klimaks adegan sendiri-sendiri. Sesuatu yang tidak lazim dalam pementasan drama modern,” kata Gigok, saat berbincang dengan Esposin selepas pementasan, Senin malam.
Dalam penggarapan naskah adaptasi tersebut, Gigok mengungkapkan dirinya sengaja menghadirkan sudut pandang kemanusiaan. “Teroris ini selalu kontekstual digarap. Idealisme perjuangan revolusi untuk mendobrak tirani tak pernah lekang dimakan zaman. Di sini sisi pergolakan kemanusiaannya yang saya munculkan,” jelasnya.
Selain dipentaskan selama dua hari di Kota Bengawan, rencananya pertunjukan ini akan ditampilkan di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Semarang.