by Redaksi - Espos.id Entertainment - Selasa, 11 Oktober 2011 - 09:45 WIB
“Meskipun Indonesia disebut-sebut sebagai negara demokrasi, namun tuntut-menuntut terkait karya hingga kini masih marak. Oleh karena itu, kartunis harus cerdas dalam mengemas sindirannya,” ucap Priyanto dalam acara Ngobrol Bareng Animator, Komikus dan Kartunis di Teater Kecil Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Senin (10/10/2011).
Salah satu langkah yang bisa diambil, menurutnya, adalah mengutamakan bahasa visual ketimbang mengumbar permainan kata di dalam karya. Diungkapkan dia, kartun yang baik adalah kartun yang mampu bicara melalui gambar, bukan lewat kata. “Sebisa mungkin, tampilkan sepenuhnya bahasa visual. Tidak usah ikut-ikutan cerewet mengumbar kata. Kita ini bukan orang sastra, kita orang gambar,” urainya.
Menurut dia, karya kartun yang baik adalah karya yang menggunakan kata seminimal mungkin. Selain menghindari kemungkinan dituntut akibat memojokkan pribadi tertentu, imbuhnya, kartun yang murni visual memberi ruang lebih bagi penikmat kartun untuk berapresiasi. “Tidak usah dibumbui kata-kata pun, kartun yang bagus pasti sampai maknanya. Caption kata itu hanya sebagai pengingat saja,” jelasnya.
Selain itu, dipaparkannya, di belahan dunia lain seperti di Amerika serta Eropa, kritik melalui kartun bisa lebih frontal dan keras. Hal itu, imbuhnya, dipengaruhi kondisi demokrasi di kedua benua tersebut yang lebih terbuka. “Di Amerika, presiden Bush saja bisa diibaratkan seperti anjing tanpa ada yang menuntut. Kalau mau dipraktekkan di sini tentu bahaya karena budayanya sudah berbeda.”
Selain Priyanto, Ngobrol Bareng yang merupakan rangkaian acara Festival Kesenian Indonesia itu dihadiri praktisi seperti Toni Masdiono, komikus dan dosen FSRD STDI serta Hanitianto Joedo dari Padepokan Animasi Jogja. Siang itu, Toni Masdiono banyak membedah mengenai masa depan komik yang dikaitkan dengan dunia animasi. Ia juga menyitir sejumlah tema yang menarik dijadikan bahan komik seperti cinta, pengkhianatan dan pertemanan.
Sementara Hanitianto Joedo mengritik sistem pasar dan distribusi karya animator lokal yang menurutnya sulit berkembang dewasa ini. “Akibatnya, para pelaku animasi lebih banyak survive di iklan dibanding memroduksi karya film,” keluhnya.
m99