Esposin, SOLO — Pada awal 2015 bangsa Indonesia sebenarnya mendapatkan pembelajaran berharga terkait dengan ancaman ”embargo” olahraga dari pihak internasional.
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), Thomas Bach, kala itu dikabarkan mengirimkan surat protes kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai ekspresi kegeramannya terkait dengan lambang olimpiade.
Dalam surat bertanggal 27 Januari 2015 tersebut, Bach meminta dengan keras agar pemerintah Indonesia membantu agar komite olahraga nasional Indonesia (KONI) pusat tidak lagi menggunakan logo lima ring. Logo five rings hanya boleh dipakai oleh Komite Olimpiade Indonesia (KOI) selaku organisasi di bawah IOC.
Tuntutan IOC agar KONI pusat tidak menggunakan logo lima ring tersebut sebenarnya bukan yang kali pertama. Protes IOC kali ini sepertinya cukup serius karena ”berbau” ancaman. Ancaman IOC terutama mengaitkan dengan niat pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018 mendatang.
Ini mengingatkan kepada kita bahwa fenomena embargo dari dunia internasional tidak terbatas di wilayah ekonomi, perdagangan, dan politik tetapi juga di ranah olahraga. Intinya sama, ancaman untuk diblokade dari tata pergaulan internasional, dikucilkan, dan diisolasi dari kancah interaksi bangsa-bangsa di dunia.
Ketua KOI Rita Subowo mengatakan jika IOC memberlakukan sanksi, organisasi internasional keolahragaan yang lainnya juga akan melakukan hal yang sama. FIFA juga akan melakukan hal yang sama terhadap PSSI, dan sebagainya. Kuncinya, jika sanksi berlaku, konsekuensinya Indonesia tidak diperbolehkan mengikuti event-event internasional, mulai SEA Games, Asian Games, sampai Olimpiade.
Betapa pentingnya meyikapi secara cepat, tepat, dan proporsional atas ancaman IOC. Tentu bukan karena rasa takut terhadap tekanan pihak luar, tetapi lebih didasari adanya tantangan memadukan sikap ketertundukan normatif universal dan mekanisme menjaga kedaulatan olahraga nasional.
”Embargo” keolahragaan memiliki fenomena berantai yang perlu disikapi secara elegan. Ancaman embargo keolahragaan juga pernah terjadi tatkala Indonesia mengalami ”blunder” terkait dengan dualisme kepengurusan PSSI.
FIFA saat itu memberikan ancaman sanksi tegas terhadap Indonesia jika dalam waktu dekat tidak dapat mengatasi kisruh dualisme PSSI. Bagaimanakah jika sanksi FIFA saat itu benar-benar dijatuhkan?
Sepak bola nasional memang tidak akan kiamat, tetapi embargo tersebut pasti berdampak mengarahkan proses pembinaan menuju titik nadir. Sebagai bangsa akan kehilangan muka, kehilangan harkat dan martabat, karena gagal menegakkan sportivitas dalam pengelolaan olahraga, khususnya sepak bola.
Dampak umum yang lainnya tentu saja terkait semakin menurunnya kepercayaan dunia internasional. Hal ini tidak berlebihan karena sepak bola menjadi sebuah instrumen global dalam tata pergaulan dunia.
Dengan buntunya komunikasi sepak bola di event internasional maka bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa yang “terkucilkan”. Dengan analogi yang demikian, kita dapat membayangkan betapa lebih dramatisnya jika ancaman IOC itu benar-benar dijatuhkan, gara-gara ”cuma” persoalan logo.
Tentu kita tidak bisa begitu saja meremehkan urusan penanggalan logo five rings. Ada dinamika tersendiri terkait dengan pemisahan komite olahraga nasional (KON) dan KOI setelah lahirnya Undang-Undang No. 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UUSKN).
Berkaitan dengan persoalan KON dan KOI, tentu masih kita ingat tentang pernyataan Roy Suryo kira-kira setahun yang lalu. Roy yang kala itu adalah Menteri Pemuda dan Olahraga menganggap penyebab kegagalan duta olahraga di multievent internasional lebih disebakan tidak harmonisnya KON dan KOI. Roy kala itu bersikukuh menguji ulang dan merevisi atas substansi UUSKN, terutama terkait dengan pemisahan tugas pokok dan fungsi KON dan KOI.
Berdasarkan pencermatan isi materi yang menjelaskan KON dan KOI dalam UUSKN, sebenarnya terlalu prematur kalau dianggap mengandung potensi konflik yang menyebabkan disharmonisasi. Tidak ada masalah serius dengan isi UUSKN terkait KON dan KOI.
Dengan demikian, mengubah substansi pasal-pasal, menurut hemat saya, merupakan pekerjaan yang memerlukan energi besar tetapi barangkali tidak akan menyelesaikan secara signifikan persoalan dualisme, disharmonisasi, dan kurangnya sinergitas dalam tata kelola penyelenggaraan olahraga prestasi di Indonesia.
Persoalan disharmonisasi adalah wilayah ”mentalitas” yang hanya bisa diatasi dengan cara membangun mind set sportif kolektif keperilakuan dan sikap seluruh insan olahraga prestasi. KON seharusnya lebih dipandang sebagai sebuah ”fungsi”.
Dalam UUSKN pun komite itu tidak ditulis sebagai Komite Olahraga Nasional (dengan huruf besar), tetapi ditulis sebagai komite olahraga nasional (huruf kecil). Artinya, UUSKN telah mengamanatkan fungsi yang dibentuk oleh induk-induk cabang olahraga tersebut memiliki sifat mandiri dan produktif efektif dalam menjalankan tugasnya.
Fungsi KON bersifat koordinatif ke daerah karena KON memang bertanggung jawab terkait kesuksesan olahraga prestasi nasional dengan segenap pernik-perniknya. Bagaimana dengan KOI?
Pada Pasal 44 UUSKN secara tegas dinyatakan KOI adalah bentuk nyata dari National Olympic Committee (NOC) sebagaimana telah diakui resmi oleh International Olympic Committee (IOC). KOI meningkatkan dan memelihara kepentingan Indonesia serta memperoleh dukungan masyarakat untuk mengikuti Olympic Games, Asian Games, South East Asia Games, serta pekan olahraga internasional yang lain.
Sikap Elegan Diskresitas peran KON dan KOI yang menjadi penyebab disharmonisasi perlu segera dikikis dengan cara semakin memperkuat peran strategis masing-masing. Pada gilirannnya KON dan KOI bersatu padu untuk membesarkan rasa kebanggaan nasional melalui olahraga, luar dalam.
Keduanya secara harmonis berupaya mewujudkan tujuan nasional keolahragaan secara simultan dan sinergis. Mind set yang demikian mutlak dibangun untuk menyikapi ancaman IOC secara elegan oleh seluruh komponen bangsa.
Energi baru keolahragaan nasional justru berpotensi meningkat berlipat jika sikap ”ketertundukan dan pemeliharaan kedaulatan olahraga nasional” disatupadukan. Setidaknya ada lima sikap elegan yang harus terbangun terkait dengan ancaman IOC sebagai upaya menyikapi ancaman agar bangsa kita tetap terhormat
Pertama, keikhlasan menanggalkan logo five rings oleh KONI pusat adalah wujud ketertundukan pada ”aturan normatif universal” olympic solidarity. Hal ini bukan berarti kekalahan KONI terkait pengakuan IOC. Pada sisi yang lain juga bukan tanda kemenangan KOI atas KONI terkait pengakuan internasional.
Ini bukan hal yang berlebihan. Tidak boleh ada yang merasa kalah atau merasa menang di balik penggantian logo lima ring. Silakan cermati lagi Pasal 44 UUSKN, bahwa KOI adalah bentuk nyata dari National Olympic Committee (NOC) sebagaimana telah diakui resmi oleh International Olympic Committee (IOC).
Kedua, ancaman IOC boleh jadi merupakan jalan baik bagi KONI untuk berkembang secara lebih mandiri sebagai sebuah local genius dari sistem tata kelola lingkup olahraga prestasi. KONI secara faktual dan historis merupakan ”sesuatu banget” dari keniscayaan olahraga prestasi di Indonesia.
KONI adalah unik dan harus berkembang pesat menjadi leader dari kedaulatan olahraga prestasi di tanah air kita. Jika Badan Urusan Logistik (Bulog) menjaga kedaulatan pangan, KONI-lah yang memiliki fungsi menjaga kedaulatan olahraga nasional.
Ketiga, jika memang ada hambatan ”psikologis” terkait penggunaan logo tiga ring yang di atasnya ada warna merah dan putih, mungkin sudah saatnya KONI mencoba untuk meracik desain logo baru yang bersemangatkan jati diri bangsa. Kristalisasi potensi dan keunggulan bangsa selama ini sungguh sesuatu yang belum diracik secara optimal.
Kita sebagai bangsa masih terlalu silau dengan kemajuan bangsa lain sehingga kehebatan diri terlepas dari pandangan. Dalam pembuatan logo KONI yang baru nanti, proses penyusunan dan maknanya memiliki nilai-nilai filosofis untuk penyatuan roh potensi besar keolahragaan nasional.
Keempat, logo five rings tatkala hanya untuk KOI maka publik negeri ini harus tetap memastikan bahwa KOI itu adalah ”pengemban misi universal IOC” yang tetap memiliki watak dasar Indonesia. KOI tidak boleh menempatkan diri sebagai ”anak IOC” yang ujung-ujungnya bersifat eksklusif dalam kancah keolahragaan di dalam negeri.
Sebagai event organizer olahraga berskala internasional, KOI justru dapat diandalkan menjadi pihak yang mempromosikan keunggulan bangsa sendiri. Tentu tetap dengan semangat citius, altius, fortius.
Kelima, apapun alasannya UUSKN telah menegaskan bahwa pengelolaan sistem keolahragaan nasional merupakan tanggung jawab Menteri Pemuda dan Olahraga. Pemerintah berkewajiban menentukan kebijakan nasional, standar keolahragaan nasional, serta koordinasi dan pengawasan terhadap pengelolaan keolahragaan nasional.
Dengan demikian persoalan sikap pemerintah Indonesia terkait dengan ancaman IOC akan menjadi sesuatu yang paling ditunggu-tunggu oleh khalayak. Peringatan keras yang disertai dengan ancaman yang datang dari lembaga internasional olahraga sudah cukup sering menerpa bangsa ini.
Ancaman yang dapat diumpamakan sebagai sebuah ”embargo” tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang harus ditakuti secara berlebihan, tetapi merupakan sengatan berharga untuk berbenah.
Kita tidak boleh merasa tersinggung dengan sengatan yang datang dari luar karena bisa jadi itu merupakan cara efektif bagi keolahragaan di Indonesia untuk menjadi lebih baik.
Semoga di dalam ketertundukan kita, kita justru semakin berdaulat sebagai bangsa yang unggul melalui ranah keolahragaan di kemudian hari. Semoga. Kemarin kita memperingati Hari Olahraga Nasional, dirgahayu olahraga nasional.