Esposin, SOLO — Pertentangan dua kelas sosial menjadi tema besar dalam penggarapan film terbaru besutan Neill Blomkamp, Elysium. Film drama fiksi ilmiah ini mengambil setting tahun 2154.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
Film garapan Tri Star yang disebut-sebut menelan biaya US$90 juta atau hampir Rp1 triliun itu menggambarkan perbedaan ekstrem kehidupan dua kelas sosial. Orang yang sangat kaya tinggal di stasiun ruang angkasa bernama Elysium, sedangkan sisanya tinggal di kawasan padat penduduk di sudut Planet Bumi.
Kejahatan merebak seiring kemelaratan warga Planet Bumi. Mereka juga didera krisis perawatan medis karena fasilitas pengobatanya hanya tersedia di Elysium. Namun warga Elysium enggan berhenti menegakkan undang-undang anti-imigrasi demi mempertahankan gaya hidup mapan warganya.
Adalah Max Da Costa (diperankan Matt Damon) yang dipercaya orang-orang Planet Bumi memperjuangkan kesetaraan di antara kedua kutub umat manusia itu. Dan satu-satunya jalan pembuka ke Elysium adalah dengan melawan kesewenang-wenangan itu.
Tetapi bukan perkara mudah melawan pasukan garis keras pendiri Elysium yang dipimpin Sekretaris Armadyne Corporation, Delacourt (Jodie Foster). Namun iming-iming terwujudnya kesejahteraan bagi jutaan orang yang tinggal di Bumi mendorong Max melaksanakan misi pemberontakan yang berbahaya itu.
Film berdurasi satu jam 37 menit ini kali pertama ditayangkan secara internasional Kamis (8/8/2013) lalu. Laman pengulas film, Rottentomatoes.com, Minggu (10/8/2013), mencatat penayangan perdana film ini mendapatkan apresiasi 66% dari kritikus film dan 72% dari penonton.
Meskipun mendapatkan sambutan yang antusias dari beberapa pengulas, kritikus dari Film.com, William Goss, menilai film ini menjadi tolok ukur kemerosotan sutradara Neill Blomkamp. Ia menganggap Elysium tak lebih dari sekadar fotokopi film besutan Blomkamp sebelumnya, District 9.
“Blomkamp membawa kembali semua elemen fiksi ilmiah klasik District 9. Sayangnya Blomkamp lupa menambahkan kebaruan,” katanya setelah menyaksikan premiere film ini, Kamis lalu.
Dalam ulasannya, Goss juga mempertanyakan kredibilitas sutradara asal Afrika Selatan ini setelah mencetak karya District 9. “Film sebelumnya berhasil menyergap penonton dengan invasi konsep asing yang benar-benar mengesankan. District 9 menawarkan ide besar pada anggaran yang relatif kecil dengan kekuatan bintang nol. Sedangkan film ini belum memiliki greget walaupun digarap dengan biaya tinggi dan bintang besar,” katanya.
Tak jauh berbeda, kritikus film Time Magazine, Richard Corliss, juga menyebut film ini kurang menggambarkan ketegangan dengan balutan cerita sosial yang kompleks. “Untuk ukuran film yang menelan dana $90 juta, film ini hasilnya suram dan hanya menggambarkan petualangan saga yang tidak lincah tapi kelam,” ulasnya.
Elysium bakal menyambangi bioskop di Indonesia, Kamis (21/8/2013) mendatang. Sejumlah penggemar film yang tergabung dalam wadah Moviegoers dari seluruh penjuru Tanah Air rencananya akan menyaksikan pemutaran perdana film ini.