Festival antikorupsi yakni keberhasilan pentas teater Gandrik tengah menjadi perbincangan hangat.
Harianjogja.com, JOGJA-Air mata adalah senjata. Kalimat itulah yang menjadi kesimpulan dari pentas Teater Gandrik berjudul 'Tangis' kali ini. Bagaimanakan jalannya pentas itu?
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Di sinilah letak inti cerita dalam naskah pentas itu. Tangisan tak hanya menjadi senjata untuk merealisasikan ambisi, tapi juga menjadi simbol kehancuran. Oleh Penulis Naskah Agus Noor, 'Tangis' memang sengaja disesuaikan sedemikian rupa dengan konteks sosial yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini seolah menjadi keuntungan tersendiri bagi Agus Noor untuk menggarap naskah 'Tangis' itu.
Sebut saja misalnya suhu hubungan KPK-Polri yang akhir-akhir ini tengah menghangat menjadi materi yang membumbui cerita. Akibatnya, pertunjukan yang diperkuat oleh 13 pemain itu menjadi kaya akan kritik sosial yang kontekstual.
Dibanding pentas garapan Teater Gandrik yang sebelumnya, 'Tangis' ditampilkan dalam bentuk yang jauh lebih baru. 'Tangis' ditampilkan Butet Kertaradjasa dkk dengan format yang lebih dinamis.
Dengan melibatkan penonton sebagai bagian dari pementasan membuat pentas itu menjadi lebih hidup. Selain itu, konsep tersebut secara tak langsung juga semakin meneguhkan Teater Gandrik sebagai kelompok teater yang terus memperbaharui dirinya.
Diakui Butet Kertaradjasa, pentas Tangis itu memang sangat mencirikan pentas Teater Gandrik yang kerap keluar dari pakem naskah. Itulah sebabnya, banyak sekali adegan dan dialog yang berubah-ubah dari setiap latihan.
"Bahkan hingga pentas malam ini," ucapnya.
Bahkan, munculnya tokoh Sumir atau Hantu Sumir pun demikian. Diakuinya, tokoh yang memiliki peran sentral dalam naskah Tangis itu ternyata bukan tokoh yang sudah disiapkan sejak awal. Tokoh itu ternyata baru muncul saat latihan.
Berbeda dengan Teater Koma misalnya yang sangat patuh dan taat terhadap naskah, Teater Gandrik, diakui Butet memang tergolong teater yang kaya akan improvisasi. Celetukan dan lawakan yang menjadi ciri khas mereka adalah bukti betapa dinamisnya mereka dalam berproses.
Dibenarkan pula oleh Penulis Naskah Tangis Agus Noor. Kepada wartawan sebelum pentas ia menuturkan bahwa munculnya tokoh Sumir justru ketika dirinya tengah tak hadir saat latihan.
Saat disodori tawaran munculnya tokoh tersebut, sebagai sutradara dirinya lantas memberikan konteks tertentu pada tokoh tersebut. "Saya kemudian sengaja membuatnya [tokoh Sumir] itu menjadi lebih misterius," ucapnya.
Ia menuturkan bahwa meski menampilkan suasana pabrik batik, namun pentas itu tetap menampilkan latar belakang cerita yang berkisah tentang keserakahan dan sikap saling jegal demi mendapatkan kekuasaan yang pada akhirnya menjadi penyebab runtuhnya kejayaan pabrik itu.
"Pentas ini adalah semacam alegori. Batik sebagai setting untuk menggambarkan keserakahan dan saling jegal. Ini adalah gambaran kecil kondisi bangsa ini sekarang," ucapnya.
Diakuinya, naskah 'Tangis' itu sendiri setidaknya sudah pernah dipentaskan 2 kali. Hanya saja, pementasan 'Tangis' itu dalam bentuk dramatic reading.
"Tapi ternyata dengan konsep dramatic reading, naskah itu sudah jadi. Jadi kami pun sepakat untuk mementaskannya dalam format yang berbeda," imbuhnya.