Esposin, SOLO -- Abad Kejayaan Antv, Rabu (22/7/2015) malam mengisahkan episode kematian tragis Sehzade Mustafa, putra sulung Raja Suleiman dari pernikahan dengan Mahidevran. Surat Mustafa yang ditinggalkan untuk Baginda Suleiman menjadi penyesalan bagi sang raja.
Promosi 12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
Mustafa mati tragis di tangan ayahnya. Dalam serial Abad Kejayaan Antv dikisahkan kematian Mustafa sebagai buah dari persekongkolan Hurem Sultan--istri kedua Suleiman dan Rustem Pasha, menantu Hurem sekaligus perdana menteri Ottoman. Pencurian stempel yang dilakukan Mirima, putri Hurem yang juga istri Rustem Pasha berujung pada kematian sang pangeran cerdas itu. (Baca: Catatan Sejarah Mustafa)
Surat pengkhianatan upaya pemberontakan, menjadi keyakinan Suleiman memutuskan eksekusi mati bagi sang anak. Surat itu telah dibubui stempel Mustafa yang sebelumnya dicuri Mirima.
Kesetiaan dan kepercayaan tinggi bahwa sang ayah akan menepati janji yang tak akan membunuh putranya, membuat Mustafa menemui Suleiman di tenda. Mustafa tak menggubris permintaan orang-orang yang dicintainya untuk tak menemui Baginda Suleiman. (Baca: Catatan Sejarah Kematian Mustafa)
"Kenapa semua orang, ibuku, istriku, sahabatku, adik-adikku melarang aku menemui ayahnya. Dia ayahku. Kami sudah saling berjanji satu sama lain, aku berjanji tidak akan pernah sedikitpun berniat memberontak, dan ayah berjanji tak akan membunuh aku. Lalu kenapa aku tak mempercayai ayahku? Dia ayahku, aku sangat percaya padanya, " teriak Mustafa gusar kepada sahabatnya, sesaat sebelum bertemu ayahnya di tenda.
Berangkatlah Mustafa menemui sang ayah. Di tenda kematian, Mustafa menghadap sang ayah. Berpakaian hitam-hitam Suleiman kemudian meminta algojo segera mengeksekusi Mustafa. Jeratan tali para algojo dilawan Mustafa, jumlah mereka yang lebih banyak membuat Mustafa bertekuk lutut.
"Ayah...ayah...," teriak Mustafa memanggil nama Suleiman yang lebih sering disebutnya Baginda. Mustafa pun tumbang....
Penyesalan
Dada Suleiman terasa sesak, suaranya pecah ketika mengetahui Mustafa tumbang meregang nyawa. Berkali-kali nama Mustafa dipanggilnya, namun Mustafa tak bergerak. Tubuh Suleiman dipeluknya erat. Di situlah Suleiman menemukan sepucuk surat yang ditulis Mustafa.
Jauh hari, Mustafa sebenarnya sudah mempunyai perasaan kuat soal eksekusi dirinya itu. Beberapa hari sebelum kematiannya, dia menuliskan surat yang ditujukan kepada raja. (Baca: Makam Mustafa di Bursa)
Diusung ke luar tenda Raja Suleiman, Mustafa terbujur kaku. Tangis pendukung Mustafa pecah. Langit gelap melingkupti Ottoman. Di dalam tenda, Suleiman terpaku, tangisnya pecah, dadanya sesak, bibirnya bergetar saat membaca deret demi deret kalimat dalam surat Mustafa. Penyesalan memang selalu datang terlambat....
“Ayah… Kau mungkin tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk membaca surat ini saat aku masih hidup. Aku menulis surat ini jauh dari kemungkinan bahwa aku akan menerima nasib yang tak pernah aku harapkan. Ini adalah keinginanku. Tetapi jika keinginanku tidak terpenuhi, dan surat ini benar-benar mencapai tanganmu, itu berarti kau benar-benar mengeksekusiku.
Oh Ayah… Ayahku tersayang. Pada saat kau membaca kata-kata ini, aku telah pergi dari dunia palsu ini. Ketahuilah bahwa tanganmu penuh dengan darah dan kau telah mengambil nyawa yang tidak bersalah.
Karena aku berjanji, aku bersumpah atas nama anak-anakku bahwa aku tidak akan pernah mengkhianatimu, kau juga berjanji bahwa kau tidak akan mengeksekusiku. Aku terus berjanji, kau adalah ayahku dan aku tidak akan pernah melakukan pemberontakan, aku tidak akan pernah melakukannya.
Namun, kau tidak memenuhi janjimu, kau melakukan hal yang kau katakan tidak akan pernah kau lakukan. Aku telah meninggalkan dunia yang kejam ini, di mana seorang ayah dapat mengorbankan anaknya sendiri.
Mungkin namaku tidak akan pernah ditulis dalam halaman emas sejarah dan tidak seorang pun berbicara tentang kemenanganku, bahkan semua orang akan mengenalku sebagai pangeran yang berkhianat. Biarlah mereka menulis hal seperti itu. Biarlah mereka menyembunyikan hal itu dan hanya Allah yang tahu kebenarannya. Suatu hari akan tiba, akan datang orang-orang yang mengerti tentang kematianku, dan hari itu segera tiba.”
Di Bursa, Mahidevran yang mengetahui Mustafa dieksekusi Baginda Suleiman tak kuasa membendung rasa dendam dan kesedihannya. "Mustafa bukan dibunuh Raja. Dia mati karena menjadi korban nuraninya yang terlalu baik dengan penguasa Tiran itu," tangis Mahidevran pecah.